Pendidikan merupakan variabel penting untuk memajukan tenaga-tenaga produktif, karena hanya dengan penemuan-penemuan(Inovasi) maka tenaga-tenaga produktif bisa bergerak maju. Perkembangan tekhnology mensyaratkan harus ada kesesuian antara alat kerja (tekhnology) dan tenaga kerja (sumber daya manusia), karena pengetahuan lah manusia bisa mengontrol alam dan tekhnology. Tetapi kedua faktor ini tidaklah selamanya berjalan secara pararel(Berkesesuaian) karena hubungan sosial yang mengkontruksikan bangunan sosial secara keseluruhan bisa saja mengambil jalan lain. Sebagai contoh penemuan besar manusa dalam hal tekhnology nuklir selalu di bayang-bayangi oleh ketakutan karena kita di bimbing oleh norma-norma politik. Sehingga oleh para filsuf dikatakan bahwa pendidikan harus mengutamakan humanistiknya, agar pendidikan bisa betul-betul memberikan kesejahteraan bagi umat manusia. Mustinya kita harus banyak belajar dari Jepang. Pasca Hirosima dan Nagasaki di Bom Atom tahun 1942, yang ditanyakan pertama kali oleh kaisar Jepang adalah “Berapa banyak guru yang tersisa?” dengan target pembenahan yang diutamakan pemerintah Jepang saat itu sampai banyak mengirimkan anak mudanya untuk belajar keluar negeri untuk mempelajari tekhnologi mutahir, sehingga Jepang langsung tersulap menjadi Negara maju dan sejajar bahkan melebihi Negara-negara maju lainnya. Sayangnya pemerintah bangsa ini seolah belum mau bangun dari tidurnya dan justru masih terbuai dalam mimpi tak sempurna.
Dalam Undang-undang sistem pendidikan nasional (USPN) tahun 2003 di nyatakan bahwa pendidikan adalah tanggung jawab bersama antara pemerintah, masyarakat dan sekolah. Bahkan tanggung jawab pemerintahlah yang sebenarnya memiliki porsi yang lebih besar, sebagaimana amanat pembukaan UUD 1945 yang menyatakan bahwa pemerintah berkewajiban untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Sehingga sudah sewajarnya pendidikan bisa di rasakan oleh seluruh rakyat Indonesia baik masyarakat ekonomi atas ataupun ekonomi lemah. Namun dalam kenyataannya harapan itu hanyalah tinggal harapan karena sampai deklasi 100 tahun Kebangkitan Nasional bangsa ini belum bisa terwujudkan juga. Masyarakat mengaharapkan murahnya biaya pendidikan terlebih lagi bisa di geratiskan.
Akhir-akhir ini, dengan banyaknya agenda politik pemerintah dalam pemilihan pimpinan dari mulai tingkat atas sampai pimpinan tingkat desa hanyalah mengumbar janji manis mengkelabui rakyatnya. Janji manis tersebut meliputi; pendidikan gratis, kesehatan gratis, dan perluasan lapangan kerja. Tapi dalam kenyataannya janji tinggalah janji. Setelah dirinya terpilih seolah lupa dengan apa yang telah di umbarkannya. Pendidikan semakin hari semakin mahal, biaya rumah sakit apalagi…. Dan lapangan pekerjaan pun seolah semakin menyempit padahal dalam tiap tahunnya setiap perguruan tinggi negeri mangeluarkan lulusanya lebih dari 2.500 orang belum lagi ditambah perguruan tinggi swasta dan lembaga kursus serta yang lainnya.
Masalah pendidikan di negeri ini sangat cukup pelik. Masih banyak masyarakat yang belum bisa mengenyam pendidikan sekolah, lulusan SD tidak bisa masuk SMP, lulusan SMP banyak yang tidak bisa masuk SMA, dan lulusan SMA sangat banyak yang menginginkan bisa masuk perguruan tinggi namun hanya harapan belaka. Masalahnya tiada lain adalah UUD (Ujung-ujungnya Duit).
Akhir-akhir ini banyak pandangan yang menganggap bahwa pendidikan bukan sepenuhnya tanggung jawab negara tetapi tanggung jawab masyarakat, dalam pelaksanaannya mereka kemudian mengusulkan konsep “Otonomi Kampus” . konsep ini menginginkan agar dalam persoalan anggaran pendidikan Pihak kampus/sekolah mencari dana secara mandiri dan tidak lagi bertumpu pada subsidi pemerintah. Semangat BHMN-isasi Perguruan Tinggi Negeri(PTN) sangat sejalan dengan semangat otonomi daerah yang sama-sama di jalankan tahun 1999. Benarkah negara harus melepaskan fungsinya untuk memajukan pendidikan nasional? Pertanyaan ini adalah pertanyaan krusisial di tengah caruk-maruk dunia pendidikan dan saling lempar tanggung jawab antara pemerintah, masyarakat dan pemerhati dunia pendidikan(aktivis).
Jangan jauh-jauh, mari kita tengok dan seleseaikan saja Wajib belajar 9 tahun karena masih banyak masyarakat di negeri ini belum bisa masuk SD atau tidak bisa masuk SMP karena permasalahan biaya yang semakin melambung tinggi di luar beban hidup rakyat yang semakin mecekik leher karena kenaikan harga BBM tahun 1998, 2005 dan 2008. Namun kondisi sekolah dan pembinaan terhadap proses belajarnya masih jauh dari harapan. Sebagai contoh makin banyaknya gedung SD yang roboh saat siswa belajar atau siswa masih belajar terpaksa di dalam bangaunan hamper runtuh atau di luar ruangan karena tidak mempunyai kelas dan yang lainnya.
Jadi…………….
Wajib Belajar 9 tahun dan Pendidikan Gratis itu Milik Siapa?????
Meskipun masyarakat seolah bisa mulai tersenyum karena pada tahun ajaran baru ini orang tua murid siswa SD dan SMP diminta waspada terhadap pungutan liar (pungli) dalam jenis apa pun. Sebab, Pemprov DKI telah memuali menetapkan tidak memungut biaya bagi siswa yang masuk sekolah pada tahun ajaran baru ini.
Wakil Kepala Dinas Pendidikan Dasar DKI Jakarta, Maman Ahdiyat, menyatakan sekolah tidak diperbolehkan memungut biaya apa pun pada orang tua murid. Baik saat penerimaan siswa baru maupun ketika masuk tahun ajaran baru, ujar dia, Rabu (20/6).
Maman kembali menegaskan siswa SD dan SMP negeri di Jakarta tidak akan dipungut biaya sepeser pun. Alasannya siswa SD dan SMP negeri menerima biaya operasional sekolah (BOS) dan biaya operasional pendidikan (BOP). Sesuai BOS setiap bulannya untuk setiap siswa SD menerima Rp 21 ribu sedangkan untuk siswa SMP Rp 29.500. Sementara BOP untuk setiap siswa SD menerima Rp 50 ribu dan siswa SMP Rp 100 ribu.
Siapa pun dalam sekolah yang berani memungut siswa akan dikenai sanksi. Ini sesuai PP No 30 Tahun 1980. Sanksinya juga disesuaikan dengan kecurangannya.
Berdasarkan peraturan cuma ada 13 SD dan 36 SMP negeri yang boleh menarik pungutan bagi siswa. Sekolah tersebut masuk dalam kategori spesifik seperti bertaraf internasional, berstandar nasional, koalisi, hingga percontohan. Di luar 49 sekolah itu tidak boleh ada pungutan dalam bentuk apa pun, kata Maman. Pungutan yang diperbolehkan pun telah distandardisasi dan melalui persetujuan dewan.
Namun Dinas Pendidikan Dasar dan DPRD belum menentukan tahun ini berapa banyak SD dan SMP dalam kategori spesifik yang diperbolehkan menarik pungutan. Maman mengatakan, keputusan tersebut akan dikeluarkan mendekati tahun ajaran baru. Saat ini kedua pihak masih melakukan pembahasan mengenai jumlah sekolah dan besar pungutan yang ditoleransi.
Dengan tidak dipungut biaya, orang tua siswa nanti diharapkan berkurang bebannya. Dengan begitu, mereka menenuhi sendiri hanya kebutuhan pribadi putra-putrinya seperti seragam dan sepatu. Bahkan buku pelajaran yang sifatnya wajib masih menjadi tanggung jawab sekolah, kata dia. Artinya, murid bakal menerima buku pelajaran wajib secara cuma-cuma.
Untuk tahun ajaran 2007/2008, penerima buku wajib adalah siswa kelas 1 hingga 5 SD dan siswa kelas 1 dan 2 SMP. Penerima buku ini bertambah disbanding tahun ajaran 2006/2007. Tahun lalu buku wajib diberikan gratis pada siswa kelas 1 hingga 4 SD dan siswa kelas 1 SMP saja.
Gratis secara bertahap, ujar Maman. Untuk tahun ajaran 2008/2009, seluruh siswa SD dan SMP negeri bakal menerima buku wajib tanpa dikenai bayaran apa pun.
Sementara untuk buku pelajaran penunjang, kebijakan Dinas Pendidikan Dasar mengatakan sekolah boleh menganjurkan pembelian buku. Namun sekolah tidak boleh mengkoordinir penjualan buku penunjang. Pengadaannya diserahkan pada masing-masing siswa.
Sementara bagi siswa SD dan SMP swasta, Maman mengatakan tidak ada aturan yang membatasi besar pungutan. ”Kami tidak punya patokan tertentu bagi sekolah swasta,” ujarnya.
Mudah-mudahan jejak pemerintah DKI Jakarta ini berikutnya bisa di ikuti oleh daerah lainnya di Indonesia. Semoga kita tidak mengharapkan lagi banyak anak yang tidak sekolah dan terpaksa terlunta jadi anak jalanan, tidak lagi mendengar pemeberitaan siswa berhenti di tengah jalan, atau tidak bisa melanjutkan ke SMP karena masalah biaya sebagai mana wawancara reporter salah satu stasiun televise pada salah satu keluarga siswa SD Hanura di Bandung. Kemudian untuk di Jawa Barat sebagaimana janji Gubernur Baru (Ahmad Heryawan & Dede Yusup) juga akan dilaksanakannya pendidikan gratis semoga saja bisa terwujud. Kami sangat tidak menghendaki jika HADE harus berhenti di tengah jalan karena dalam tiga tahun tidak bisa merelisasikan janjinya. Tapi programnya itu harus kita dukung. Karena kalaulah harus PEMILU di tengah jalan justru akan menambah beban APBD untuk Pos yang tak seharusnya. Mendingan dana itu kita gunakan sebaik-baiknya untuk peningkatan pencapaian pendidikan yang diikuti oleh penigkatan mutu pendidikan. Sehingga negeri ini bisa hidup lebih baik.
Lanjutkan membaca ‘PENDIDIKAN GRATIS MILIK SIAPA???’
Komentar Terakhir